Kamis, 24 Juni 2010

Konseling Pecandu Narkoba

Konseling Terpadu Pemulihan Pecandu Narkoba

Oleh: Sofyan S. Willis*)

Abstrak :

Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang terdiri dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga, Konseling Kelompok, Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi Sosial. Semua itu bertujuan agar klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat mengkonsumsi narkoba.

Pemulihan pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak luar, mengambil tanggung jawab atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya, mendapat penghargaan dari lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik, merasa sebagai anggota masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat kepemimpinan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik. Studi kasus aplikasi Konseling Terpadu terhadap seorang klien pasca RSKO, membuktikan bahwa dengan menjalani konseling selama 3 bulan (April-Juni 2001), klien telah menjadi anggota masyarakat dan bekerja normal pada toko suku cadang mobil di Jakarta.

Kata Kunci: Konseling Terpadu, pecandu narkoba, Pasca RSKO, Pemulihan.

*) Sofyan S. Willis adalah Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP-UPI Bandung

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977).
Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin, 1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4) ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
1.2 Tujuan Studi Kasus

Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada Tuhan.
1.3 Kajian Literatur

Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.
“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus

Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
2.1 Konseling Individual (KI)

Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)

Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
2.3 Konseling Keluarga (KK)

Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:

  1. Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
  2. Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).
  3. Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.
  4. Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.
  5. Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.

Secara berturut-turut telah dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual, bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar